Tuesday, February 22, 2022

Mencari Makna Diri

Makna dalam Identitas

Siapa kamu?

Dari mana asalmu? 

Apa saja kemampuanmu? 

Kenapa kamu melakukan ini dan itu? 

Sejak kapan kamu melakukan hal-hal tersebut? 

Bagaimana pendapatmu tentang….? 


Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin menjadi pertanyaan-pertanyaan umum yang terjadi dalam interaksi orang yang baru saja berkenalan, tapi mungkin beberapa diantaranya menjadi pertanyaan yang lebih mendalam yang biasanya tidak diutarakan saat pertama kali bertemu. Namun, pada umumnya kita melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas pada lawan bicara kita dengan tujuan untuk mengenal lebih banyak siapa orang yang sedang kita ajak berbicara. 


Serangkaian pertanyaan-pertanyaan di atas juga dapat dimaksudkan untuk mengidentifikasi seseorang, walau tak jarang orang lebih mudah atau lebih suka mengidentifikasi berdasar apa yang terlihat mata. Mengapa kita melakukan proses identifikasi seperti ini? Tentu saja kepentingannya berbeda-beda tergantung siapa yang melakukannya. Ada yang hanya ingin lebih mengenal dalam relasi pertemanan, ada yang dalam tujuan profesioal, maupun dalam tujuan-tujuan lainnya. Identifikasi menghasilkan identitas. Namun, bagaimana jika kita melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sama pula bagi diri sendiri? Apakah kita bisa menjadikan jawaban-jawaban tersebut sebagai pembentuk identitas diri? Mungkin saja bisa, tapi apa bisa dengan tepat? Lagipula apa sih pentingnya identitas diri? Bukankah dunia ini pun membentuk identitas diri kita? Gender, suku, agama, ras, status sosial, jenjang pendidikan, status ekonomi, hingga hal-hal yang sangat personal; seperti kondisi fisik tertentu, gaya hidup, kebiasaan dan banyak lagi. Begitu banyak hal yang membentuk identitas diri, manusia seringkali lupa akan identitas diri, atau jika saya bisa katakan sebagai jati dirinya sesungguhnya; tenggelam dalam berbagai lapisan topeng yang menyelubungi keaslian diri. 


Identitas diri seharusnya bisa kita pahami ketika kita mengenal betul siapa diri kita. Mungkin dengan kembali menyusun pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti apa tujuan hidup kita; bagaimana kita akan menjalaninya. Proses ini bisa saja dikatakan sebagai pencarian makna diri. Mungkin saja seiring dengan berjalannya waktu jawaban-jawabannya bisa saja berubah, tergantung bagaimana pengalaman hidup kita, bagaimana kita berespon, dan menghidupi hidup kita. Dengan demikian, bisa saja proses ini tidak akan berhenti, karena hidup kita pun terus berjalan. Jadi, bukankah sesungguhnya puncak dari makna hidup ini adalah ketika kita sudah tidak lagi di bumi ini? 

Bagaimana kita sebagai orang percaya; sebagai orang yang disebut murid Kristus? 

Proses ini juga berlangsung bertahap dalam formasi iman. Pengenalan membutuhkan proses; ada pengetahuan dan pemahaman yang dibarengi dengan respon iman yang benar. Pertumbuhan iman yang benar akan menuntun kita dalam menjalani hidup dalam jalan dan kehendak Kristus, karena sejatinya tujuan hidup kita adalah untuk menjadi serupa dengan Kristus. Kita hanyalah manusia yang terbatas dan tidak mungkin bisa menyamai Dia yang sempurna dan sejati, tapi dalam ketaatan kita berjalan dalam kehendak-Nya. Dengan demikian, apapun kata dunia yang berusaha membentuk identitas diri kita, kita tidak akan tenggelam dalam lapisan topeng, dan tidak kehilangan makna diri. 


Friday, February 11, 2022

Yunus si pembawa berita

Apakah Yunus seorang misionaris?

Kitab Yunus adalah salah satu bagian dari kitab nabi dalam Alkitab. Menjadi kitab yang unik karena alih-alih menceritakan kisah bangsa Israel, atau apa yang menjadi pesan Tuhan, kitab ini justru menceritakan perjalanan Yunus – apa yang menjadi pikiran dan tindakannya. Kisah Yunus juga begitu lekat dalam benak setiap orang Kristen, karena saya menduga bahwa sedari kita kecil sudah sering sekali mendengarnya, baik dalam cerita di sekolah minggu, maupun dalam lagu-lagu rohani sekolah minggu. Namun, isi yang diangkat biasanya adalah cerita bagaimana kuasa Tuhan untuk mengutus Yunus, memberi pelajaran bagi Yunus ketika dia berusaha untuk lari dari Tuhan, dan pada akhirnya bagaimana orang Niniwe bertobat karena takut pada Allah, bukan cerita tentang tindakan Yunus seperti yang menjadi dasar pertanyaan dalam tulisan ini.

Sedangkan di sisi lain, kitab Yunus juga sering kali digunakan sebagai percontohan dalam menunjukkan kasih Allah. Terlebih jika kita mengetahui bagaimana konteks kehidupan orang kuno yang percaya pada banyak tuhan/dewa, dan hanya bangsa Israel – yang adalah bangsa pilihan Allah – saja yang menyembah satu Tuhan. Namun, Allah menunjukkan belas kasih-Nya terhadap bangsa lain yang bukanlah bangsa pilihan-Nya. Meskipun kita tahu, inilah alasan mengapa Yunus tidak mau memberitakan pesan dari Allah – karena Yunus tahu Allah akan berbelas kasih pada Niniwe jika mereka berbalik percaya pada Allah. Namun, “tuntutan” Yunus adalah mengapa bukan orang Israel yang diselamatkan terlebih dulu, melainkan Niniwe, yang masih bagian dalam Asyur, yang juga adalah musuh mereka.

Yunus sangat tahu isi hati Tuhan, betapa Allah yang penuh dengan amarah dan murka punya kedaulatan untuk menghancurkan siapa pun yang menjadi “musuh-Nya”; di sisi lain Allah juga berlimpah dengan kasih, dan mau menerima siapa pun juga yang mau percaya dan menyembah Dia. Namun, keegoisan hati Yunus membuat dia terperangkap dalam kemarahannya.

Mengenal Allah, memahami isi hati Tuhan dan melakukan kehendak-Nya, itulah yang seharusnya kita kejar. Yunus mengenal Allah, dan telah melakukan apa yang menjadi kehendak Allah, tapi Yunus tidak memahami isi hati Tuhan, tidak bisa melihat keindahan rencana Tuhan sehingga dia tidak mampu bertindak seperti Tuhan. Misionaris kurang visi.

Tuesday, February 1, 2022

Menelusuri Teladan Tuhan Yesus - Pengajaran Yesus (1)

Sistem Pembelajaran oleh Tuhan Yesus

https://clarkfineart.com/wp-content/uploads/2018/12/28343_Rembrandt_b67_Christ-Preaching-La-Petite-Tombe.jpg

Sebagai seorang Kristen yang percaya dalam kuasa dan kedaulatan Allah Tritunggal, saya sungguh bersyukur karena Allah Bapa sang pencipta dan pemelihara hidup telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Serta melalui pekerjaan Roh Kudus membimbing saya untuk mengenal Dia dan percaya dalam iman. Menurut saya ini sebuah kerangka teologi iman Kristen yang sangat indah. 

Menjadi lebih indah lagi karena berdasar iman Kristen pula saya belajar bahwa Allah menyatakan diri-Nya melalui Kitab Suci, yang terbentuk dalam sejarah penulisan, rekonstruksi, penerjemahan dan penafsiran dalam kurun waktu yang sangat panjang dan tidak mudah; yang isinya berpusat pada karya Allah serta penyataan diri-Nya dalam Anak-Nya, Yessus Kristus. Cerita tentang Tuhan Yesus dalam Kitab Suci menjadi bukti nyata kehadiran Allah bagi manusia, juga menjadi teladan, panutan, bahkan sebagai "wajah" yang seharusnya menjadi refleksi dari cerminan setiap orang percaya. Tentu saja mencapai kesempurnaan seperti Yesus adalah hal yang mustahil, tetapi pemikiran itu haruslah melandasi setiap kehidupan kita.

Kali ini saya ingin membuat sebuah tulisan dalam seri Menelusuri Teladan Tuhan Yesus yang akan membahas tentang teladan Tuhan Yesus yang bisa kita petik semasa hidup-Nya. Pada bagian ini, mari kita lihat sosok Yesus yang juga kita kenal sebagai Guru Agung. Injil Yohanes mencatat beberapa kali Yesus dipanggil sebagai Rabi, yang dalam bahasa Ibrani berarti guru (dengan penekanan pada pengajar yang cakap, dihormati, dan berotoritas dalam pengajaran hukum); karena memang salah satu yang dilakukan Yesus semasa hidup-Nya adalah mengajar. Namun, mengapa sebagai guru agung? Tentu saja karena pengajaran Yesus adalah pengajaran yang agung dan mulia, semuanya adalah Firman Allah itu sendiri.

Untuk bagian pertama ini, mari kita lihat dari bingkai yang lebih luas, yaitu pengajaran Yesus dalam sistem pembelajaran yang diterapkan-Nya, karena Tuhan Yesus memang membuat sebuah sistem yang terlihat jelas ketika Dia memilih sendiri ke-12 murid yang pada akhirnya menjadi utusan pertama dalam visi-Nya ketika hadir di dunia. Bila kita mempelajari bagaimana pendekatan yang Tuhan Yesus terapkan; dapat kita lihat bahwa pendekatan Yesus berpusat pada isi (materi) dari pengajaran-Nya tersebut sebagai penggenapan dari hukum Taurat, sebagaimana yang dipelajari oleh orang Yahudi saat itu (Mat. 5:17). Strategi pembelajaran yang Yesus terapkan juga memang lebih banyak berpusat dari diri-Nya, walaupun dibeberapa kesempatan juga Yesus mengajar berdasarkan diskusi dari lawan bicaranya, baik dari ahli-ahli Taurat dan orang Farisi (Mat. 12:1-15; Luk. 6:1-11)  atau juga dari orang Saduki (Mrk. 12:18-27), maupun dari murid-Nya sendiri (Mat. 18) atau juga dari orang-orang secara "random", baik secara individu maupun dalam kelompok.

Metode yang Tuhan Yesus gunakan dalam pengajaran-Nya juga bisa kita temukan dalam Injil, yang memang kebanyakan dalam bentuk ceramah dan khotbah. Namun, jika kita melihat lebih teliti, kita mendapati bahwa Yesus seringkali menjadikan diri-Nya sebagai contoh dan teladan hidup. Beberapa contoh nyata teladan dalam pengajaran Yesus misalnya: Yesus menunjukkan belas kasih. Injil mencatat bagaimana Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya pada orang lain, bahkan kerumunan banyak yang mengikuti Dia. Kita bisa melihat dari Injil Matius 9:35-38 bagaimana Yesus menyembuhkan banyak orang karena tergerak oleh belas kasihan. Kisah Tuhan Yesus memberi makan 5000 orang juga merupakan inisiatif-Nya karena tergerak oleh belas kasihan terhadap orang banyak (Mrk. 6:34). Kemudian ketika Tuhan Yesus meluruskan hal yang salah dengan kesungguhan hati dan sikap yang tegas. Hal ini dapat kita lihat ketika Yesus menyucikan Bait Allah dalam Injil Yohanes 2:13-25; di mana banyak orang menjadikan Bait Suci sebagai tempat jual-beli dan penukaran uan sehingga menjadi seperti pasar. Tentu saja hal ini sangat salah dan merendahkan rumah Allah, tetapi kebanyakan orang lain hanya diam meliihat ini, bahkan di ceritakan di sana bahwa ada pula ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, tapi mereka tidak berbuat apa-apa. Hingga hanya Yesus yang berani untuk membubarkan kerumunan itu. 

https://clarkfineart.com/wp-content/uploads/2021/09/29247_Rembrandt_B69ii_Christ-Driving-the-Money-Changers-from-the-Temple.jpg

Teknik yang Tuhan Yesus gunakan dalam pengajaran-Nya juga bisa kita lihat sebagaimana Tuhan Yesus memberi pengertian dalam perumpamaan-perumpamaan dengan narasi. Yesus juga menggunakan simbol dan kejadian tertentu seperti menjelaskan antara hubungan tuan dan hamba yang sangat dipahami dalam konteks orang-orang saat itu; kemudian ada suatu moment di mana Yesus membasuh kaki murid-murid untuk mengajar mereka tentang kerendahan hati. Cara-cara ini Yesus terapkan agar mudah dipahami dalam konteks pendengar-Nya saat itu. 

Beberapa hal di atas ini merupakan contoh singkat dari sistem pembelajaran yang diterapkan oleh Yesus, yang tentu saja masih bisa terus digali dengan meneliti dan menelusuri Kitab Suci. Bagian selanjutnya nanti mari kita lihat lebih spesifik lagi tentang pengajaran Yesus. 

Mencari Makna Diri

Makna dalam Identitas Siapa kamu? Dari mana asalmu?  Apa saja kemampuanmu?  Kenapa kamu melakukan ini dan itu?  Sejak kapan kamu melakukan h...